Gangguan Belajar: disleksi, diskalkuli

Istilah disleksi dan diskalkuli sebenarnya tidak awam lagi di masyarakat Indonesia. Sayangnya belum ada penganganan sistematis pada anak-anak dengan gangguan belajar kronis ini.

 

Akibatnya banyak orangtua atau tenaga pengajar yang tidak paham bagaimana bereaksi terhadap anak-anak dengan gangguan belajar ini. untuk mendeteksinya melalui penetapan diagnosis dapat dilakukan sejak usia dini, misalnya di kelas 2 atau kelas 3 SD.  Sehingga seharusnya penanganannya juga dapat dilakukan segera dan berjangka, misalnya saja untuk menghindari angka putus sekolah, angka perilaku antisosial di sekolah atau untuk menghindari angka kekerasan pada anak akibat kesulitan belajar

Disleksia: gangguan belajar membaca dan menulis

Diskalkuli: gangguan belajar berhitung

 

Prevalensi disleksi secara umum ada di antara 4-9 persen anak. Jika kita dapat mengasumsikan bahwa bahasa Indonesia memiliki struktur bahasa yang mudah, maka dapat kita ambil tingkat prevalensi terendah saja. Bayangkan jika ada 20 juta anak Indonesia yang duduk di SD, ada 400ribu yang kemungkinan mengalami disleksi. Artinya anak-anak ini memerlukan strategi belajar membaca yang jauh berbeda dengan anak-anak tanpa gangguan belajar. Prevalensi diskalkuli secara garis besar ada di antara 2-8 persen. Anak-anak dengan diskalkuli memiliki kesulitan yang jauh lebih tinggi dalam memahami konsep ruang dan perubahan satuan. Sayangnya juga belum ada penelitian sistematis tentang prevalensi gangguan belajar di Indonesia, sehingga sulit untuk melakukan perencanaan penanganannya. Dapat diasumsikan bahwa anak-anak yang mengalami gangguan ini mengalami penurunan motivasi dalam membaca, menulis ataupun menyerah untuk mengerti konsep matematika dasar. 

Salah satu seorang selebriti yang mengaku memiliki disleksi adalah Deddy Corbuzer. Betapa beliau menyesalkan pengalaman buruk yang harus beliau alami pada saat harus belajar membaca dan menulis.

Gangguan belajar disleksia dan diskalkuli ini timbul akibat kondisi psikogen dari saraf (linguistik atau ruang-abstrak) dan kemampuan kognisi, dimana anak-anak ini dapat membaca lebih baik melalui pemahaman fonem, morfem atau grafem. Sementara anak-anak tanpa gangguan ini belajar melalui pengenalan alfabet. Anak-anak diskalkuli memerlukan strategi pemahaman matematika yang jauh lebih konkret dibandingkan anak-anak lain. Mereka kesulitan misalnya memahami berapa jauhnya 1 meter atau 10 sentimeter, kesulitan membayangkan hal abstrak.

Solusi:

satu tenaga pengajar di sekolah atau di desa untuk anak-anak dengan gangguan belajar ini agar mereka mendapatkan jam belajar tambahan dari seklah. Atau penanganan secara online dengan program yang dapat dikembangkan. Anak mendapat voucher untuk menghadiri kelas online atau jam tambahan tersebut.