Si Bimo masih berusia 24 tahun saat itu. Dalam benaknya, ini adalah waktu yang tepat untuk mencari pasangan. Baru saja dia mendapatkan pekerjaan yang cukup ideal. Bisa dibilang cukup untuk menghidupi keluarga sederhana yang dia idamkan. Jadi, sesuai dengan rencana, dia mulai mengikuti beberapa kegiatan menarik, yang memungkinkan dia untuk bertemu dengan banyak orang baru. Sebelumnya sewaktu kuliah belum tentu dia bisa mengikuti kegiatan seperti ini secara rutin, karena dia harus hidup hemat.
Baru dia sadari ternyata wanita itu pun berbeda-beda. Dulu dia pikir, selama dia punya status yang bisa dia banggakan, maka wanita pun akan berdatangan. Maka 3 tahun pun berlalu dan dia belum dapat menemukan seseorang yang tepat. Sebenarnya dia pun sadar, ada beberapa hal yang unfair selama pencariannya ini. Pernah dia meninggalkan begitu saja perempuan-perempuan yang penah dekat dengannya, dengan harapan mereka akan mengerti. Atau pernah dia menjanjikan seorang dari mereka, bahwa mereka akan menikah di tahun kedua masa pacaran, namun dunia menawarkan keindahan lain yang menggairahkan Bimo. "Nanti dulu", itu jawabannya pada pihak keluarga.
Sekarang adalah waktu yang tepat, pikirnya 10 tahun lalu. Kemapanannya pun merajalela, namun demikian juga kesepiannya. Bimo masih beruntung, karena dia tidak mendapat sedikitpun tekanan dari keluarganya untuk mencari pasangan. Namun keraguannya dalam hidup merebak, pertanyaan besar menyeruak. Mungkin dia tidak harus memiliki pendamping, begitu pembenaran di benaknya.
Maka pergilah Bimo ke negeri seberang dalam rangka liburan, sambil mencoba peruntungannya menemukan seseorang yang mungkin mau hidup dengannya. Ya, ternyata ada. Seorang wanita yang cukup untuk menjadi aksesori di ruangan tamunya. Sebatas pertemanan bersyarat, bersyarat karena perjanjian untuk bersama selama hidup. Dia pun berkesimpulan: inilah namanya berkeluarga, ternyata bukan perasaan yang menggebu-gebu yang dia kenal lewat media.