Setelah 7 bulan tidak bertemu akibat Pandemie-Corona akhirnya smartphoneku berbunyi. Isi Whatsapp berkata sebuah undangan minum kopi di hari Jumat minggu ini dari seorang kenalan dalam suatu kelompok belajar waktu itu. Ternyata Kirana sedang menjalani praktikum di tempat yang sama sepertiku, setahun lalu. Jadi wajar jika Kirana akhirnya menghubungiku untuk bertanya hal-hal selanjutnya, termasuk kemungkinan dia akan bertanya soal penulisan laporan praktikum pada akhirnya. Terus terang aku senang, karena ada potensi untuk memperdalam hubungan pertemanan di antara kami.
Di hari pertemuan, aku pun lega sesudah menyatakan secara halus bahwa penulisan laporanku akan berbeda dengan laporan yang harus ia tulis nantinya, karena kegiatan kami selama praktikum setahun lalu sangat berbeda dengan praktikum yang ia alami di tahun ini. Fiuh, diriku malas, jika aku harus mengulangi untuk menjelaskan bahwa penulisan laporan harus dilakukan sendiri, tanpa bantuan orang lain, karena pasti sudah tertulis di aturan penulisan laporan.
Akhirnya cerita berlanjut ke pembicaraan tentang status single. Mereka berpisah, sudah kuduga!
Perlu waktu cukup lama hingga Kirana akhirnya mencetuskan istilah kontrak atas pernikahannya kemarin. Dulu saat di kelompok belajar, dia bercerita betapa pertemuan mereka di Australia begitu mempesona dan perjuangan untuk mengundang suaminya yang berasal dari Amerika selatan untuk datang hidup bersamanya di Jerman. Tak mau berpikir terlalu jauh, kisah mereka sebagai satu kisah lainnya tentang cinta.
Tak ada yang salah dengan cinta kontrak karena keduanya mendapatkan manfaat. Sang pria akhirnya berhak atas izin tinggal dan pindah warga negara dan Kirana mendapat cinta dan manja walau hanya untuk waktu yang singkat. Karena toh semua pernikahan juga adalah tentang keuntungan masing-masing dari hasil kebersamaan.
Fenomena ini pun ada.